Riuh rendah suara ribuan orang bertalu talu memekakkan telinga ketika Paus Fransiskus, pimpinan tertinggi gereja Katolik sedunia memasuki area tempat diadakannya perayaan misa kudus. Terik matahari yang menggigit tepat di ubun-ubun seakan tidak terasa lagi. Semua mata memandang ke sosok berjubah putih itu, sesekali teriakan dan pekikan bersahut-sahutan di antara yang hadir., berpasang-pasang telinga ditajamkan untuk mendengarkan setiap langkah, setiap tarikan nafas, setiap ucapan yang keluar dari bibir yang tidak lagi muda itu.
Di balik kerumunan begitu banyak orang dengan berbagai macam aroma yang berbaur menjadi satu, seorang bocah laki-laki berdiri termenung, di tangannya tergenggam secarik kertas, jantungnya berdegub dengan hebatnya, sebentar lagi akan tiba gilirannya untuk membacakan kutipan dari Kitab Suci dan pertanyaan yang ingin ia sampaikan. Ujung jarinya semakin membiru dan dingin, di tengah panggangan sinar matahari ketika gilirannya tiba. Gugup tapi tetap percaya diri, sang bocah mendekati mic dan mulai membacakan kutipan dari Kitab Suci, semua dilakukan dalam bahasa Inggris yang fasih. Tarikan lega nafasnya jelas terdengar melalui microphone saat kutipan itu mencapai titik terakhir. Dan akhirnya, dengan matanya yang bulat, bocah itu memandang wajah bapa Paus, dan mengajukan pertanyaan, “Bapa suci, kalau memang Allah begitu mengasihi manusia, kenapa masih ada begitu banyak penderitaan?”
Pertanyaan itu seperti kilat yang menyambar dan menghaguskan seisi stadium, semua mulut ternganga, bisikan -bisikan halus mulai berseliweran, semua mata memandang tajam ke panggung dimana sang bocah menerima pelukan hangat dari sang Paus, tepukan hangat di pundak, dan akhirnya melangkah turun. Sekejab pecahlah tepukan tangan yang meraung raung menggema, dan sang Paus pun mendekati microphone, dalam bahasa ibunya, yang kemudian diterjemahkan langsung, ia menyentuh hati setiap orang yang hadir, dengan jujur tanpa berpura-pura harus menjadi yang mahatahu.
Paus Fransiskus menjawab “Kenapa masih ada penderitaan? Umatku, saya juga tidak tau, saya tidak tau harus menjawab apa, karena memang benar penderitaan ada dimana-mana, juga di dalam keluarga. Anak-anak dibuang, ditelantarkan, dibiarkan hidup bebas seperti burung di padang. Tapi yang saya tau, bahwa Allah tetap mengasihi kita, Allah tetap peduli. Dalam penderitaanlah kita menjadi kuat, kita menjadi perpanjangan tangan Allah untuk membantu mereka yang lebih menderita. Kita tidak bisa berpangku tangan, karena Allah tidak hadir dalam sesuatu yang fenomenal, tapi Allah hadir dalam tangan-tangan yang membantu, yang merangkul, yang memeluk, yang mengampuni dan yang menerima kekurangan.”
Masih panjang pesan dari Bapa Paus, tapi apa yang diucapkannya menjadi semacam api yang membakar hati setiap orang yang mendengarkannya.
Sebagai penilik di YBMB ini, saya melihat bahwa ada begitu banyak kesusahan, begitu banyak ketegangan, begitu banyak air mata, begitu banyak kebingungan akan masa depan, yang menggumuli kehidupan anak-anak. Tapi saya percaya, bahwa Allah hadir melalui tangan-tangan para pembina dan pendamping, para donatur, ibu tukang masak, ibu pembersih, dan orang tua yang mengijinkan anaknya kami peluk dan kami lambungkan ke awan penuh harapan. Keajaiban hadir setiap hari di tengah mereka, tawa lepas mereka seakan menghapus segala luka, candaan mereka yang kadang memang agak luar biasa memberikan bukti bahwa dunia tidak harus terus menangisi nasib. Apakah mereka bodoh? mungkin mereka memang belum dapat membaca di saat anak lain seusianya sudah menjadi juara matematika se tanah air, tapi mereka punya hati yang perlu disentuh, punya masa depan yang perlu disiapkan jalannya, sehingga suatu hari mereka tidak lagi bertanya KENAPA MASIH ADA PENDERITAAN?