Sejak awal, kami (pendiri dan pendamping YBMB) memilih untuk mendampingi anak-anak kaum marjinal perkotaan. Kenapa? Secara statistik, tidak banyak organisasi filantropi yang mendampingi anak-anak kaum marjinal perkotaan. Sementara jumlah anak – anak kaum marjinal perkotaan terus bertambah tidak terkendali. Selain itu, permasalahan yang mereka hadapi sangat kompleks. Tidak mungkin masalah anak – anak kaum marjinal dapat ditangani pemerintah saja. Perlu kerjasama semua pihak.
Stigma sebagai “anak nakal & kriminal” merupakan persoalan tersendiri. Mereka dirazia, bahkan kerap dicap sebagai penyandang penyakit masyarakat (pekat). Mindset yang salah dipastikan melahirkan treatment yang tidak tepat.
Diperlukan pendekatan yang humanis dengan mengindahkan Undang-undangan Perlindungan Anak. Penyebutan penyandang “penyakit masyarakat” sangatlah keliru. Perlu pendekatan humanis. Bukan pendekatan yang berpotensi melahirkan kekerasan baru. Jangan lupa, setiap jam, setiap hari, mereka kerap menjadi objek eksploitasi kekerasan orang dewasa.
Dijadikan pengemis yang harus menyetor kepada orang tua atau preman, dijual, dijadikan objek seks adalah pengalaman traumatis yang akan membekas hingga mereka dewasa. Akankah perlu ditambah lagi dengan trauma karena dikejar-kejar dan ditangkap petugas?
Memanusiakan anak – anak kaum marjinal tidak semudah yang dibayangkan. Ada banyak orang dewasa yang menghalangi dan menentang. Anak – anak ini adalah aset. Jika anak – anak ini dibina, disekolahkan, maka hilang pula aset ekonomi mereka.
Dibutuhkan komitmen yang kuat, pengalamanan dan keahlian sebagai pekerja sosial sehingga mampu mengajak anak – anak kaum marjinal untuk keluar dari situasi buruk, tanpa menimbulkan konflik dan resistensi orang dewasa di komunitas anak – anak tersebut.
Anak – anak kaum marjinal perkotaan adalah produk kegagalan teknokrasi pembangunan dalam melakukan reformasi pembangunan manusia perkotaan. Mereka tidak ikut dalam skema pertumbuhan ekonomi yang melahirkan kelompok menengah yang sejahtera dan berpendidikan. Kemiskinan yang diderita adalah kemisinan strukturan dan kultural.
Anak – anak di kolong jembatan, pingir sungai dan rel kereta api dan mengamen di jalanan terlahir dari orang tua yang menjalani kehidupan serupa. Beberapa dari mereka memang ada yang baru migrasi dari pedesaan, tapi sebagaian besar adalah kaum urban yang telah dua tiga generasi tinggal di Jakarta tanpa dokumen kependudukan. Akibatnya, mereka di cap sebagai penduduk liar, tidak berhak mendapatkan bantuan pendidikan dan kesehatan untuk warga DKI Jakarta.
Mendampingi anak kaum marjinal adalah keputusan yang secara sadar kami pilih. Perlu kampanye lebih luas agar lebih banyak orang yang mengetahui dan tergerak untuk membantu mereka mendapatkan hak pendidikan, kesehatan dan pekerjaan yang layak.
Siapapun, profesi apapun sangat dibutuhkan oleh anak-anak kaum marjinal. Perubahan akan terjadi jika mereka menjadi subyek, bukan obyek.
Mari bergabung menjadi relawan Yayasan Bina Matahari Bangsa dengan menghubungi Febriana Gultom (081319519435)