Anjal

Kemiskinan perkotaan adalah problem ketidakmampuan manajemen perkotaan mengatasi masalah sosial. Penanganan masalah ini butuh waktu panjang, komitmen yang kuat, dan bisa jadi hasilnya tidak semegah membangun stadion olah raga, bandara atau jalan tol. Saya tidak tahu, apakah ada pemerintah daerah di Indonesia yang menetapkan penanganan masalah sosial sebagai priotas utama dibandingkan pembangunan infrastruktur? Kalau dilihat dari alokasi anggaran, tidak satupun daerah di Indonesia yang menetapkan penanganan masalah sosial sebagai prioritas.

DKI Jakarta, APBD 2023 difokuskan pada tiga program prioritas dengan alokasi sebesar 41,27 persen APBD melalui belanja dan penyertaan modal daerah, yaitu pengendalian banjir, penanganan kemacetan dan antisipasi dampak penurunan pertumbuhan ekonomi.

Pada program ke-3, memang terselip program bantuan keuangan untuk lansia, disabilitas, pendidikan dan anak jalanan. Cukup menggembirakan, namun jumlahnya kecil dan merupakan bantuan langsung tunai, bukan sesuatu yang struktural dan meminimalisir jumlah orang miskin di perkotaan.

Kesimpulan saya ini pasti ditentang keras para birokrat. Prioritas utama Jakarta adalah banjir dan kemacetan lalu lintas, baru penanggulangan dampak ekonomi. Saya setuju, namun dengan angka APBD sebesar Rp 83,7 trilyun, Pemda DKI memiliki kemampuan untuk pemberdayaan sektor UMKM dan rumah murah. Ditambah dengan upaya kreatif memberdayakan swasta untuk menggelontorkan dana CSR kepada hal yang bersifat substansial bagi pengentasan kemiskinan.

Berapa jumlah orang miskin di Jakarta? Tidak ada angka statistik yang jelas. Angka resmi pemerintah dipastikan tidak valid. Jumlah warga yang tinggal di kolong jembatan tol, pinggir rel kereta api, bantaran sungai dan di belakangan gedung-gedung bertingkat dipastikan ratusan ribu jiwa. Silahkan anda cek di kolong jembatan tol rawa bebek exit tol Sunda Kelapa, kolong tol tongkol dan Krapu, Pejagalan, pinggir rel Kampung Dao Mangga Dua, Tanah Merah dan ratusan slums area di Jakarta.

Sulit bagi mereka untuk keluar dari jebakan kemiskinan struktural dan kultural. Sebagian dari mereka adalah generasi kedua dan ketiga. Ironisnya banyak yang tidak memiliki dokumen kependudukan sehingga tidak bisa masuk sekolah atau mendapatkan fasilitas kesehatan (BPJS) atau rumah murah. Inilah yang saya maksud sebagai kemiskinan struktural.

Tidak mudah untuk mengajak mereka untuk keluar dari gurita kemiskinan. Banyak dari orang dewasa yang fatalistik. Dunia begitu buram. Tidak ada masa depan. Dunia penuh ketidakadilan dan mereka menilai dirinya sebagai komunitas lemah yang selalu diinjak. Kemiskinan secara kultural seperti ini kerap diwariskan ke anak-anak dalam bentuk larangan untuk bersekolah karena toh nantinya cuma jadi pemulung, pengamen, pengemis, tukang parkir, PSK, atau penjahat kelas teri.

Kehidupan di slums area adalah kehidupan yang eksploitatif. Model kehidupan seperti ini paling disukai oleh rentenir dan preman. Warga butuh uang cepat, tapi tidak punya akses ke bank atau koperasi. Lembaga seperti Kelurahan, RW, RT tidak bisa masuk mereka karena mereka kategori penduduk liar yang bisa jadi nomaden dari satu kolong jembatan ke kolong jembatan lainnya. Dalam kondisi minim proteksi sosial inilah premanisme menggurita. Satu petak gubuk 3 x 3 m2 disewakan preman Rp 300.000/ bulan. Biaya MCK lain lagi. Makin padat sebuah kawasan. Makin senanglah pemilik bisnis MCK. The poor pay moore. Akibatnya mereka buang hajat sembarang. Penyakit pun menular semakin liar.

Fokus perhatian saya adalah bagaimana menyelamatkan nasib anak-anak. Sejak kecil diberdayakan sebagai pemulung dan pengamen, sementara orang tua duduk di rumah menunggu setoran. Human trafficking merajalela dalam bentuk penyewaan anak, penjualan anak di bawah umur oleh orang dewasa atau teman. Jangan salah, saya pernah meilihat seorang anak remaja perempuan di Jembatan Tiga Jakarta Utara menjual kawannya sendiri.

Inilah harga yang harus dibayar jika kita menyebut mereka sebagai penyandang penyakit sosial. Treatmentnya terlalu menyederhanakan masalah. DIrazia, dibina, lalu kambuh lagi. Kenapa? Akar masalahnya, yakni kemiskinan, tidak diatasi.